tugas agama

Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, kalam Al-Qur’an dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (al-Jatsiiyah) ayat 23:

23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya [1385] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

[1385] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

Dalam QS 28 (al-Qashash) :38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

38. Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat 1125) kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". 1125). Maksudnya: membuat batu bata.

Contoh ayat-ayat tersebut diatas menunjukan bahwa perkataan ilah bias mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad : ilaahatun). Bertuhan nol atau etheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegambiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian:

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah : yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadan-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, takut, dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan berdo’a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindunagn dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989:56)

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut mulai dengan peniadaan, yaitu “tidaka ada TUhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.

Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literature sejarah agama, dikenal teori evousionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitive telah mengakui adanya kekuatan yang berpegaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditunjukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negative. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (melayu), dan syakti(India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan panca indera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Mersipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitive juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitive, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhanya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negative dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan animism dan dinamisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeismme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitive (tertentu). Satu bangsa yang hanya mengakui ssatu dewa yang disebut Tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan trbagi dalam tiga paham: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang(1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitive. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitive. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitive adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).

2. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejad wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat diantara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah kaerna adanya perbedaan metodologi dalam memahami al-Qur’an dan Hadis dengan pendekatan kontektual sehingga lahir aliran yang bersifat liberal. Sebagian umat Islam memahami dengan pendekatan tekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang umat Islam lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam islam. Aliran tersebut adalah:

a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, seta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang Isalam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada diantara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).

Dalam manganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu system teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional adalah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalan pecahan dari Khawarij.

b. Qadariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (tidak ada campur tangan Tuhan dalam perbuatan manusia). Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada diantara Qadariah dan Jabariah. Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi, Tuhanlah yang menetapkan hasilnya.

vhxx

cghdfhfgh

teks

fdhdfghdfhdfghdfh